GENDERUWO PENUNGGU HUTAN GERUMBUL
Pak
Wiryo tinggal bersama bersama istrinya Bu Ratmi dan anaknya bernama mamat di
rumah kecil yang sederhana. Setiap hari pak wiryo bekerja sebagai petani
sayuran. Seringkali pak wiryo mencari tambahan
uang dengan mencari akar pohon
pelawan untuk dijadikan arang. Pak Wiryo bekerja saling bahu-membahu bersama
sang istri untuk mencukupi hidup keluarganya. Mamat sendiri masih sekolah di
SDN Suban Baru di kelas 4. Sedikit banyak mamat sudah ndolor (mengerti) tentang kehidupan keluarganya. Hidup dalam
kesederhanaan, bahkan sering kekurangan. Makanya Mamat tidak pernah meminta
yang aneh-aneh kapada orangtuanya.
Siang
itu terik matahari serasa diatas ubun-ubun.
Mamat pulang sekolah tidak seperti biasa bareng teman-temannya. Ternyata
Mamat sedang ada masalah dengan teman-temannya. Setelah Mamat pindah sekolah ikut
bersama Pak Wiryo dan Bu Ratmi, Mamat harus dituntut untuk bersosialisasi
dengan teman baru yang ada di desa. Tidak enaknya adalah karena teman-teman
barunya sering menjahili bahkan sering menghardik Mamat. Itulah yang membuat
Mamat malas berteman dengan mereka. Siang itu Mamat pulang sekolah mengendarai
sepeda lewat jalan berbeda dengan jalan saat berangkat sekolah. Mamat tidak
ingin pulang bareng temannya karena jengkel waktu di sekolah berantem dengan
Candra gara-gara nilai Mamat lebih besar daripada Candra.
Mamat
sebenarnya sedikit menyesal saat memutuskan pulang sekolah memilih jalan yang
berbeda. Ada dua alasan yang muncul dibenak Mamat. Pertama, jalan yang ditempuh lebih jauh. Kedua, jalan yang Mamat pilih seram dan sepi. Tapi Mamat tidak ada
pilihan lain kecuali terus melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Mamat
terus mengayuh sepedanya dengan nafas kembang kempis. Sesaat kemudian Mamat
sampai disebuah jembatan yang dibawahnya memiliki air yang sangat jernih
sekali. Mamat menepi ke pinggir jembatan menuju sebuah gubuk bekas tempat
pembuatan batu bata. Mamat menaruh sepeda di pojokan gubuk, meletakkan tasnya
di aatas sepeda, lalu menuju air sungai yang sangat jernih. Mamat mengambil air
dengan tangannya lalu membilas wajahnya, sesekali Mamat meminum air sungai itu.
Tiba-tiba Mamat dikejutkan suara dehem dari
belakang gubuk, sontak membuat Mamat kaget. Karena saat menyandarkan sepeda di
gubuk tadi tidak ada orang. Mamat menoleh ke arah gubuk, ia terkejud ternyata
ada bapak tua memakai baju putih lusuh
memakai topi sedang mengupas pisang lalu memulai percakapan.
“Loh, le.. kok dewean bali sekolahe
? koncomu podo ngendi ?” Tanya Pak Karno kepada Mamat.
Mamat setengah gugup menjawab pertanyaan Pak Karno. “Eeee... anu.. mereka lewat jalan terobosan pak !”
“Opo koe ora wedi lewat kene dewean
? jalane sepi tur serem !”
“Oh.. enggak pak. Biasa mawon..! jawab
Mamat dengan santai.
“Neng kene ki tempate angker le..
di jembatan itu sering ada penampakan. Disana ada makam tua angker, kamu
hati-hati kalau lewat sini sendirian.” Pak Karno menunjuk ke
arah hutan sebelah jembatan.
“Nggeh pak... kalau begitu saya pamit pulang
langsung pak.” Mamat tanpa basa-basi langsung mengambil sepeda beserta
tasnya. Mengayuh secepat mungkin sepedanya. Anak sekecil itu diceritakan tentang
kisah horror siapa yang tidak
langsung berdiri bulu kuduknya.
Mamat
mulai memelankan kayuhan sepedanya dan berpikir sepertinya sudah jauh dari
jangkauan Pak Karno tadi. Mamat menepi ke pinggir jalan lalu berhenti sambil
menarik napas. Dia memperhatikan tempat sekitarnya lalu matanya tertuju ke
suatu tempat yang membuatnya penasaran. Dia melihat sebuah pohon tinggi besar
yang memiliki daun yang sangat lebat jika dilihat dari kejauhan seperti
tumbuhan bonsai. Tempat itu lebih mirip seperti hutan kecil karena ada berbagai
tumbuhan disekitarnya. Tapi menurut Mamat ada yang aneh, anehnya adalah mengapa
pohon-pohon yang rimbun hanya disekitarnya tok.
Di seberang jalan tidak ada pohon yang rimbun. Sejauh mata memandang tidak ada
pohon rimbun selain di depan tempat Mamat beristirahat. Seketika Mamat teringat
kata-kata Pak Karno, dia lalu bergegas mangayuh sepedanya sekencangnya. Lima
menit kemudian Mamat sampai dirumah.
Malam
itu Pak Wiryo berencana untuk pergi ke rumah Mbah Sadiman. Kebetulan rumahnya
ada di dusun seberang dimana jalannya harus melewati hutan yang tadi siang
Mamat lewati. Pak Wiryo mengendarai motor bebek bermesin China dengan sorot
lampu yang tidak terlalu terang. Pak Wiryo mengengkol
motornya lalu berseloroh ke Mamat.
“Ayo
nang.. ikut bapak main ke rumah Mbah
Sasiman”
“Ayo...!”
Mamat lalu naik ke atas motor tanpa pikir panjang.
Lima
menit kemudian motor yang mereka kendarai sampai di depan hutan grumbul yang tadi siang Mamat lewati.
Suasananya sangat hening dengan ditambah cahaya sinar bulan sabit
remang-remang. Mamat mencium bau sesuatu. Bau itu sangat khas dan Mamat paham
betul aroma baunya. Seperti bau ubi yang dibakar. Mamat makin penasaran dan
bertanya kepada bapaknya.
“Pak..
nyium bau sesuatu nggak ?” tanya Mamat.
“Iya
ya. Bau apa ini ya” Pak Wiryo menyahut.
“Seperti
bau ubi bakar pak.” Imbuh Mamat.
Pak
Wiryo tidak menanggapi lagi ucapan Mamat karena fokus nyetir motor. Beberapa saat kemudian sampailah di rumah Mbah
Sadiman. Pak Wiryo ngobrol ngalor-ngidul
dengan Mbah Sadiman seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Ya memang
Pak Wiryo sudah lama sekali tidak berkunjung ke rumah Mbah Sadiman, tidak
sesering dulu karena banyak kesibukan di tempat kerja. Mbah Sadiman lalu
menanyakan bagaimana keadaan keluarga Pak Wiryo. Pak Wiryo pun menjawab dengan
santai saja.
“Pak
wir, pripun kabare Mbah Timan sak
keluarga ?” tanya Mbah Sadiman.
“Alhamdulillah
sehat mbah, seger waras kabeh.” Timpal
Pak Wiryo.
“Lah, koe saiki sekolah kelas piro le ?” Mbah
Sadiman menatap ke arah Mamat.
“kelas 4 mbah.” Jawab Mamat.
Suasana
pun hening sejenak. Mbah Sadiman menikmati hisapan
rokok lintingan-nya (rokok hasil
racikan sendiri) dengan khusyuk. Setelah memuntahkan asap rokok yang ketiga
kalinya Mamat lalu berseloroh.
“Mbah,
mbah tau hutan yang ada dipinggir jalan arah pulang sana nggak?” celetuk Mamat.
Mbah
Sadiman tidak langsung menjawab. Mbah Sadiman merubah posisi duduk lalu
meletakkan puntung rokoknya di asbak.
Lalu menjawab apa yang diucapkan Mamat.
“Oh..
alas kono kae to le..?” Mbah Sadiman
menunjuk ke arah tempat itu berada seolah tempat tersebut disamping rumahnya.
“Nggeh mbah.” Jawab Mamat.
“Oh, yo yo yo.. mbah ngerti le. Emange
nyapo le kok takon iku ?” Mbah Sadiman menatap tajam wajah
Mamat.
Mendengar
pertanyaan Mbah Sadiman, Mamat tidak berani melanjutkan ceritanya. Mamat lalu
mendekatkan badannya ke Pak Wiryo. Dan Pak Wiryo lah yang melanjutkan
ceritanya.
“Anu mbah.. tadi waktu berangkat kesini saya
dan mamat pas di hutan itu mencium bau ubi bakar mbah. Kira-kira bau opo iku
mbah ?” tanya Pak Wiryo dengan rasa penasaran.
Mendengar
ucapan Pak Wiryo, Mbah Sadiman terkekeh lalu pergi ke dapur mengambil kendi
kecil berisi air putih dan membawa satu sisir pisang gedah untuk disantap.
“Saiki minum sek.. mbah lupa ngasih air minum
buat kalian. Ayo dicicipi Pak Wir, Le..”
“Nggeh mbah.”
Jawab Pak Wiryo sambil mengelupas kulit pisang sebelum disantap.
Pak
Wiryo menikmati pisang yang dihidangkan oleh Mbah Sadiman, sedangkan Mamat
masih kesusahan memotel pisang diatas
piring. Lalu Mbah Sadiman memanjutkan ceritanya.
“Pak Wir.. apa yang barusan kalian alami itu
adalah hal yang tidak biasa.” Ucap Mbah Sadiman.
Mendengar
jawaban Mbah Sadiman, Pak Wiryo menghentikan ngunyah pisangnya. Pak Wiryo tertegun sambil merubah posisi
duduknya.
“Maksudnya mbah ?
sahut Pak Wiryo.
“Bau ubi bakar yang kalian rasakan
itu berasal dari Hutan Grumbul yang kamu maksud le. Disana tempat genderuwo
bersemayam. Setiap malam memang disekitaran Hutan Grumbul mengeluarkan bau khas
ubi bakar. Tapi kalian tidak usah takut, nanti kalau pulang banyak-banya
membaca do’a ya le.” Ucap Mbah Sadiman.
“Kok saya jadi merinding mbah
dengernya.” Seloroh Pak Wiryo.
“Wes ndak popo, yang kita ndak
boleh takut sama setan. Kalo kita takut nanti setannya yang tambah berani
menakuti manusia.” Pungkas Mbah Sadiman.
Pak
Wiryo masih penasaran dengan cerita setan genderuwo penunggu Hutan Grumbul itu.
Pak Wiryo menanyakan asal-usul cerita itu dari mana kepada Mbah Sadiman.
“Memang e genderuwo itu sejak kapan
menempati hutan itu mbah ?”
“Saya juga ndak tau pastinya kapan
Pak Wir, yang jelas bapak saya dulu pernah cerita, konon dulu di hutan itu ada
sebuah pusaka berwujud tongkat berkepala manusia. Lalu ada seorang pemuda yang
berusaha mencarinya dan akhirnya ketemu. Pemuda itu bernama Dalil. Awalnya
tongkat itu berupa batang kayu pelawan hidup yang sangat lurus. Kayu tersebut
kemudian dikupas kulitnya dan akhirnya menampakkan bentuk ukirannya sendiri.
Pemuda tersebut membawanya pulang. Selang beberapa hari pemuda tersebut membawa
tongkat tersebut ke orang pintar (dukun) untuk menanyakan tentang tongkat
tersebut. Setelah kejadian itu Hutan Grumbul selalu mengeluarkan bau ubi bakar
saat malam hari. Jadi begitu ceritanya.” Pungkas Mbah Sadiman.
Pak
Wiryo hanya mengernyitkan dahinya sambil menelan ludah setelah mendengar
penjelasan panjang Mbah Sadiman. Tidak terasa hari pun semakin malam, jam
menunjukkan pukul 21:48 wib. Pak Wiryo tidak ingin melanjutkan cerita tentang
genderuwo lagi bersama Mbah Sadiman. Pak Wiryo mengisyaratkan untuk pamit
pulang kepada Mbah Sadiman.
“Nggeh pun mbah.. kulo tak pamit
wangsul mawon, sampun dalu, mamat besok juga harus sekolah”
Ucap Pak Wiryo.
“Oh.. Nggeh nek ngoten. Atos-atos
mawon. Le.. mamat ojo lali baca do’a ya le..” jawab
Mbah sadiman menatap wajah Mamat.
Pak Wiryo menghidupkan motor. Pada saat engkolan yang ke sekian kali baru
menyala motornya. Mamat berpamitan kepada Mbah Sadiman.
“Mantuk mbah.”
Ucap Mamat.
“Iya le.
Hati-hati.”