DAWUH CAK DLAHOM MENGAJARI HAKIKAT IKHLAS - BERBAGI SUKSES

Sunday 18 September 2022

DAWUH CAK DLAHOM MENGAJARI HAKIKAT IKHLAS

Entah sebab lain atau karena Cak Dlahom sering menyebut nama Romlah, Mat Piti mengutus anak gadisnya untuk mengantarkan buka puasa ke rumah Cak Dlahom pada suatu sore. Romlah membawa rantang-rantang berisi bubur kacang ijo, nasi, rawon lengkap dengan telur asin dan kerupuk udang, selain teh manis hangat yang dimasukkan dalam botol plastik. Mat Piti tahu, rawon adalah menu kesukaan Cak Dlahom.

"Terima kasih, Romlah. Salamku pada bapakmu. Tolong sampaikan: 'Kalau bersedekah harus ikhlas.'"

Romlah tak berani menatap Cak Dlahom kecuali mengiyakan. Dan di rumahnya, dia menyampaikan pesan  Cak Dlahom pada bapaknya. Mat Piti keheranan. Dia merasa membagi buka puasa dengan ikhlas, tapi Cak Dlahom malah menganjurkan dia harus ikhlas.

Keheranannya terbawa sampai selesai Tarawih. Dia karena itu mendatangi rumah Cak Dlahom: ingin bertanya maksud Cak Dlahom dengan menganjurkannya agar ikhlas. Dia tak mau merasa penasarannya terbawa hingga sahur apalagi sampai subuh.

Tiba di rumah Cak Dlahom, yang punya rumah terlihat sedang menyantap rawon. Bersila menatap di lincak menghadap ke barat. Mulutnya menyeruput kuah berwarna hitam langsung dari bibir piring. Sruuut .....

"Assalamu'alaikum, Cak."

"Alaikumsalam. Eh, Mat .... enak betul rawonmu ini."

"Romlah yang masak, Cak."

"Gadis itu memang pintar masak, Mat. Kamu pandai membesarkan anak."

"Iya, Cak, saya tahu, tapi saya mau tanya, maksud sampean bilang saya harus ikhlas itu apa ya ?"

"Tadi kamu ngasih apa aja ya, Mat ?"

"Bubur kacang ijo, rawon serantang lengkap dengan nasi, telur asin, kerupuk udang, sambal taoge. Ada teh hangat juga."

"Wuih, ingat banget kamu, Mat."

"Sayamelihat sendiri Romlah memasukkannya ke rantang. jadi saya ingat, Cak."

"Terimakasih ya, Mat. Seminggu lalu kalau tak salah kamu juga ngasih aku .... apa ya?"

"Oh yang itu, beras dua kilo, Cak. Dua minggu sebelumnya, saya ngasih sampean sarung. Sebulan yang lalu saya ngasih sampean peci."

"Iya ya... Tapi, kamu pasti ikhlas kan, Mat ?"

"Ya ikhlaslah, Cak. Masak ndak. Maka itu saya mau tanya, maksud sampean soal ikhlas itu apa ?"

"Ikhlas kok ditanya, Mat."

"Saya hanya ingin tahu...."

"Lah menurutmu ikhlas itu apa ?"

"Berbuat atau melakukan sesuatu karena Allah, dengan Allah, hanya untuk Allah, Cak."

"Iya betul, tapi 'Karena Allah, dengan Allah, dan hanya untuk Allah' itu apa ?"

"Ya, semua hanya untuk Allah, Cak."

"Semua untuk Allah itu apa ?"

"Ya kalau begini terus sampean saja deh yang ngasih tahu: ikhlas itu apa ?"

"Sebelum kesini, kamu kencing dulu ndak, Mat ?"

"Loh sampean kok malah nanya soal kencing, Cak ?"

"Kan kita sama, cuma nanya."

"Iya, tapi apa hubungannya kencing dengan ikhlas, Cak ?"

"Aku tanya kamu nanya. Kamu jawab saja. Kalau ndak mau, ya ndak apa-apa juga."

"Sebelum ke rumah sampean, saya tidak kencing. Sudah ? itu aja ?"

"Kalau hari ini, kamu kencing dan berak berapa kali, Mat ?"

"Sehari ini saya belum berak, Cak. Kencing mungkin tiga atau empat kali."

"Kemarin ?"

"Berak sekali. Kencing ...? Ya... kira-kira samalah, Cak dengan hari ini, tiga atau empat kali..."

"Seminggu yang lalu ?"

"Ya ndak ingat, Cak....?"

"Sebulan yang lalu ? Setahun yang ? Sejak mulai kamu lahir kamu ingat, berapa kali kamu berak dan kencing ?"

"Sampean juga ndak ingat toh, Cak ?"

"Seperti itulah ikhlas."

"Maksudnya ?"

"Amal perbuatanmu yang tidak pernah diingat-ingat."

"Kencing dan berak itu amal toh, Cak ?"

"Menurutmu apa ?"

"Kan saya yang tanya, kenapa ditanya ?"

"Kencing dan berak itu amalmu, Mat. Kamu mengeluarkan sesuatu dari badanmu dengan tidak menahan-nahannya dan segera melupakannya. Tidak mengingat-ingat bau, warna, dan bentuknya seperti apa. Kamu menganggap kencing dan berak tidak penting, meskipun mengeluarkan sesuatu yang sangat penting bagi lambung atau ginjalmu. Buat peredaran darahmu. Untuk kesehatanmu."

"Jadi kalau masih ingat, berarti ndak ikhlas, Cak ?"

"Hanya Allah yang tahu."

"Astagfirullah... maafkan saya, Cak..."

"Kenapa minta maaf ke aku, Mat ?"

"saya mau pamit dulu...."

"Kok buru-buru ?"

"Sudah kebelet, Cak...."

Mat Piti tidak menunggu jawaban Cak Dlahom. Dia segera bergegas pulang. Berjalan tergesa-gesa sambil menjinjing sebagian ujung bawah sarungnya. Terdengar suara bra, bret, bret....

Cak Dlahom sempat menoleh, tapi selanjunnya tak peduli. Dia meneruskan makan rawonnya. Terus menuangkan teh hangat dan menyeruputnya, lalu kebat-kebut dengan kreteknya.


Tulisan ini diambil dari Novel karya: Rusdi Mathari

Comments


EmoticonEmoticon